Catatan Pendek: Alisa (6)


( 6 )
Kebenaran yang Terungkap




Alisa terbaring lemah. Setelah kepulangannya dari pusara ibu, dia menjadi semakin tidak berdaya. Mimpi-mimpi buruk itu selalu hadir di setiap tidurnya. Hampir dua minggu ini, Alisa bagai orang penyakitan yang hanya menghabiskan sisa-sisa kehidupannya di atas ranjang tanpa bertemankan siapa-siapa.
Lagi. Meski tubuhnya sakit berkali-kali hingga harus mengonsumsi obat, Alisa tetap membuka pintu jendelanya lebar-lebar. Membiarkan angin berembus masuk, membuat ruang kamarnya semakin dingan saja. Sengaja, untuk mengusir mimpi-mimpi yang sama, yang tidak pernah mau pergi.
“Karina, saya mohon jangan tutup jendelanya. Malam ini saja,” pinta Alisa.
Karina melengos. Dia sejujurnya sangat kesal jika di masa-masa kesakitan Alisa seperti ini, dia tidak diizinkan untuk menutup pintu jendelanya. Hal ini yang selalu membuat Karina berpikir hebat, bahwa sakit yang Alisa derita akibat angin malam yang hilir mudik dari ruang kamarnya.
***
Alisa terpejam. Dia benar-benar terpejam dengan mudahnya. Seluruh ruangan terlihat gelap, dia tidak bisa melihat apa-apa. Namun, tubuhnya dapat merasakan sentuhan angin malam yang begitu dingin. Angin itu seakan menyentuh seluruh urat-urat nadinya. Alisa kedinginan. Tubuhnya sekarang gemetar.
Lalu, tiba-tiba ruangan menjadi sangat terang. Alisa mengerjap berulang kali, bias cahaya di seberang sungguh sangat menyilaukan. Tidak lama kemudian, tampaklah sebuah balkon yang di tepinya berdiri seorang gadis kecil dikuncir dua. Gadis itu sedang bermain boneka seraya tertawa. Alisa lantas beralih pada ruang keluarga yang tidak jauh dari arah balkon, di sana terdapat seorang lelaki yang sedang menonton televisi seraya menyeruput kopi hitamnya.
Alisa terpejam sejenak, dia sungguh tidak ingin mengulangi mimpi yang sama. Dia berharap dapat terbangun dari mimpi buruk ini, dia sungguh tidak ingin melihat adik kesayangannya meninggal dengan mengenaskan. Dia benar-benar ingin tersadar, namun tubuhnya tidak merespon apapun. Alisa tetap berada di ruang keluarga itu, bahkan ketika kedua matanya benar-benar terbuka lebar.
“Aduh,” pekik gadis kecil itu.
Alisa terkejut, dia segera mendekat ke tepi balkon. Dilihatnya gadis itu yang tampak sangat sedih, ternyata boneka kecilnya terlepas dari genggaman lalu tersangkut tepat di bawah balkon.
“Boneka itu milik Kak Alisa. Dia pasti akan sedih kalau tahu bonekanya jatuh,” gumamnya setengah terisak. Gadis itu melirik ke arah lelaki yang sedang asyik menonton siaran televisi beberapa kali, ketakutan.
Gadis kecil itu lantas bergegas menuruni balkon. Alisa kembali terkejut, dia berusaha menahan gadis itu, namun jemari Alisa tidak mampu menyentuhnya. Tubuh Alisa gemetaran, dia berlari ke arah lelaki yang masih menonton siaran televisi. Berteriak lantang, berharap lelaki di hadapannya mampu mendengar.
“Ayah, Sofia. Dia mencoba untuk turun dari atas balkon. Ayah harus menolongnya. Alisa mohon, Ayah. Jika terlambat, Sofia akan meninggal. Yah, tolong Sofia. Alisa mohon. Dia dalam bahaya. Ayah ... Ayah? Yah?!”
Alisa berteriak sekuat tenaga, namun lelaki itu tidak merespon ucapannya sedikit pun. Alisa geram, dia akhirnya menepis sebelah tangan lelaki itu yang sedang melingkar pada sebuah cangkir kopi. Cangkir itu terjatuh. Pecah. Isinya tumpah.
“Ayaaah ...”
Lelaki itu terkejut. Dia bergegas berlari ke arah balkon dan mendapati gadis kecilnya tersungkur di bawah apartemen, tidak berdaya. Kedua kaki lelaki itu gemetar, seluruh badannya mendingin, air matanya menitik berulang kali. Dengan kedua matanya sendiri, dia menyaksikan kepergian gadis kecilnya yang bahkan belum menginjak usia remaja.
Di lain sisi, Alisa gemetar begitu hebatnya. Dia memandangi kedua tangannya yang di saat-saat genting seperti ini tidak mampu menyelamatkan nyawa adiknya. Air matanya menderas membasahi pipi bahkan jilbab panjangnya. Lalu, pandangan Alisa beralih pada seorang gadis kecil di depan pintu kamar. Gadis kecil itu adalah dirinya lima belas tahun silam. Alisa kecil yang tidak pernah bisa mengikhlaskan kepergian Sofia.
***
Alisa terperanjat. Dia mengerjap beberapa kali dan mendapati kedua matanya basah oleh air mata. Dia masih di atas ranjang, jendela kamarnya masih terbuka lebar, bahkan angin malam asyik menyibak gorden, membuat ruang kamarnya terasa sangat dingin. Dia terbatuk-batuk, dan bergegas menutup pintu jendelanya.
Batuknya tidak mereda juga, dia bahkan ingin memuntahkan sesuatu dari dalam perutnya. Mual. Dia bergegas keluar kamar, menuju dapur yang senyap. Sesampainya di dapur, jemarinya meraba isi lemari, mencari-cari sesuatu yang selalu bisa meredakan rasa takutnya, namun dia baru teringat jika stocknya habis. Dia pasrah.
Tiba-tiba saja, kedua bola matanya menangkap sesuatu. Satu kantong plastik yang diletakkan di sudut dapur. Dia bergegas membukanya, dan mendapati dua stoples arabica kesukaannya. Juga satu buah memo yang bertuliskan nama pengirimnya. Hanggi.
Alisa bergeming. Otaknya seakan sedang menganalisa sesuatu, dan tampaknya dia menemukan sesuatu. Hanggi. Mengapa lelaki itu selalu hadir di setiap problematika kehidupannya, menawarkan kebahagiaan yang tiada habisnya, mungkinkah Hanggi adalah takdir yang Allah titipkan untuknya? Tetapi, bukankah Hanggi adalah seorang non muslim?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Pendek: Alisa (2)