Catatan Pendek: Alisa (7)
( 7 )
Kamu yang Tertulis di Lauh Mahfuz
Alisa
berdiri di samping ranjang seorang lelaki tua. Tepat di samping ranjang
terdapat banyak sekali alat bantu pernapasan, infus, dan alat-alat dokter lainnya
yang tidak dia ketahui namanya. Jemarinya gemetar, dia ingin sekali menyentuh
sebelah tangan lelaki tua itu, namun raganya tidak mampu. Selalu saja ada
batasan yang tidak ingin dia langgar, seperti halnya melepas cadar. Rasanya,
ini bukanlah saat yang tepat bagi Ahsan mengetahui identitas Faradiba yang
sebenarnya.
“Ahsan,
saya ingin kopi,” kata Alisa.
Ahsan
mengangguk, lantas segera keluar ruangan untuk membeli kopi.
Alisa
tidak banyak berpikir lagi. Dia segera melepaskan penutup wajahnya,
meletakkannya di sisi ranjang. Air matanya menitik. Jemarinya yang lentik dan
lembut menyentuh sebelah tangan yang telah menua itu. Berharap lelaki di
sampingnya terbangun dan menerka siapa perempuan di hadapannya. Namun, tubuh
lelaki itu tidak merespon apapun. Alisa menangis lagi. Lantas mendekatkan
bibirnya pada telinga lelaki tua itu, membisikkan sesuatu. Sebuah pernyataan
yang tidak disangka-sangka.
“Ayah,
ini Alisa,” bisiknya seraya menitikkan air mata.
***
Ahsan
menelepon beberapa kali. Namun, Alisa tidak ada gairah untuk segera
mengangkatnya. Tadi, selepas dia membisikkan sesuatu pada ayah, dia bergegas
pergi tanpa menunggu kehadiran Ahsan terlebih dahulu. Dia terlalu terburu-buru
hingga melupakan kopi pesanannya, yang sebenarnya sama sekali tidak dia pesan.
Untung
saja, dia dan Ahsan masih terikat kontrak kerja. Perihal cinta pertama Ahsan.
Ya, dia meminta Alisa yang dikenalnya sebagai Faradiba untuk menuliskan kisah
pencariannya pada Alisa yang tidak kunjung membuahkan hasil menjadi sebuah
novel. Berharap, ketika novel itu benar-benar rilis, Alisa yang sebenarnya akan
segera ditemukan.
Alisa
menurut saja, dan menandatangani kontrak tersebut. Ketika masa pengerjaan,
Ahsan menghubungi Alisa dan mengatakan bahwa ayah tiba-tiba terkena serangan
jantung dan harus segera dilarikan ke rumah sakit. Karena itu, pagi tadi Alisa terburu-buru
pergi ke rumah sakit. Walau, tidak lama.
“Sa,
aku nanti sore mau ke super market. Mau nitip sesuatu?” tanya Karina.
Alisa
melirik ke arah tiga stoples arabica yang belum habis juga, lantas menggeleng
mantap. Satu-satunya yang akan dia beli di super market adalah kopi. Namun,
kopi pemberian Hanggi masih terlalu banyak, jadi dia memutuskan untuk tidak
menambah stock. Lumayan, dia dapat berhemat untuk satu bulan ke depan.
Tetapi,
Alisa tiba-tiba berpikir sejenak. Bukankah satu stoples kopinya telah habis
tiga hari yang lalu? Mengapa sekarang justru ada tiga stoples berisi penuh?
Alisa mengerutkan kening, bingung.
“Oya,
Sa. Semalam Hanggi ke sini kasih arabica buat kamu. Tapi, kamunya sudah keburu
tidur. Belakangan, dia suka sekali kirim kopi buat kamu, kalian pernah ngopi
berdua di coffee shop, ya?” tanya Karina yang tampak memahami isi
pikiran teman satu rumahnya.
Alisa
terkesiap mendengar pertanyaan Karina. Dia menggeleng cepat, dan berusaha membenarkan
pada Karina bahwa mereka belum pernah jalan berdua bahkan sekadar untuk berbincang
ringan. Hanggi hanya tidak sengaja melihat Alisa sedang menyeruput arabica di coffee
shop. Itu saja. Tetapi, Karina tetap bersikukuh meminta Alisa untuk
menghubungi Hanggi, sekadar mengucapkan terima kasih.
“Kalau
benar juga nggak apa-apa, kok, Sa. Hanggi ‘kan sekarang muslim, dia sudah bisa
masuk sebagai kriteria suami idamanmu. Beberapa kali, aku juga dengar suaranya
yang sedang mengaji di halaman rumah. Bacaannya memang masih terbata-bata,
tetapi semangatnya untuk belajar sangat luar biasa. Dia cocok untuk jadi
imammu, Sa. Sungguh,” kata Karina.
Alisa
terdiam.
“Lho,
sudah berumur gitu mau dicari yang seperti apa lagi, Alisa?” tanya Karina,
kesal. Dia pada akhirnya malas bertanya lagi, dan meminta Alisa untuk
mengantarkan kue bolu buatannya pada Hanggi. Sore itu juga.
***
Alisa
berlari menuruni tangga, ketika Karina berteriak mengatakan ada telepon penting
dari penyiar radio bernama Ahsan. Mendengar kata-kata penting, Alisa tidak
berpikir panjang lagi. Kata penting selalu memiliki konotasi yang mengarah pada
ayah. Ini bisa jadi sesuatu yang baik atau sebaliknya.
Alisa
segera menyambar telepon, dan mengatakan halo berulang kali. Di seberang
telepon terdengar sangat gaduh, dia tidak bisa menangkap suara Ahsan dengan
jelas. Tetapi, Alisa tahu pasti jika ada sesuatu yang tidak beres di sana. Dan
benar saja, ketika suara di seberang mulai terdengar sepi, Ahsan mengatakan sesuatu
yang membuat Alisa terkoyak lemah. Ayah telah tiada.
Sore
itu juga, Alisa tidak bisa merasakan apapun lagi. Tubuhnya melemas, dan
terhuyung ke depan. Dia jatuh pingsan. Dunianya telah menghilang untuk waktu
yang sangat lama, mungkin selamanya. Dunia yang dia maksud adalah ayah.
***
Kudus,
2020
Alisa
duduk tenang di hadapan keluarga besar seseorang yang hari ini bersedia untuk
meminangnya. Dengan hanya menggunakan setelan gamis dan jilbab panjang serta
penutup wajahnya, Alisa tampak sangat cantik malam hari ini. Karina bahkan
memujinya berulang kali tanpa lelah.
“Bila
Nak Muhammad Hanggi Anggara bersedia untuk menikahi puteri kami yang bernama
Alisa Purnama Sari, izinkan dia untuk memperlihatkan wajahnya padamu,” kata
sesepuh dari pihak Alisa.
Tanpa
menunggu lama, Alisa segera melepaskan penutup wajahnya. Dan tampaklah paras
ayu Alisa yang sebenarnya, yang mana selama ini hanya tertutup kain cadar
biasa. Hanggi terkesiap, dia memandangi Alisa tanpa bisa berkedip.
Perempuan
dewasa yang selama ini dia kagumi tanpa memandang kecantikan, perempuan yang bisa
merubah dunianya menjadi lebih dekat dengan Sang Pencipta, perempuan itu adalah
Alisa. Dan kini jarak antara dirinya dengan Alisa sangat dekat, jika memang
benar Alisa adalah jodoh yang tertulis di Lauh Mahfuzh, Hanggi adalah
satu-satunya lelaki yang paling beruntung dapat memilikinya.
***
Di
sebuah coffee shop di pusat keramaian Kota Kudus, terdapat dua kursi
dengan satu meja kecil. Di salah satu kursinya terdapat seorang lelaki
bersetelan jas rapi. Dia duduk tenang, menunggu seseorang. Kopinya masih mengepul,
hangat. Dan seseorang yang dia tunggu-tunggu akhirnya tiba tepat pada waktunya.
Seseorang
itu adalah penyiar radio yang nantinya akan menjadi MC di acara resepsi
pernikahan dirinya dengan Alisa. Dia sengaja memilih penyiar itu, karena merupakan
satu-satunya penyiar yang memiliki popularitas tinggi di Kota Kudus.
“Mas
Hanggi?” tanya pernyiar radio itu, memastikan.
“Mas
Ahsan?” Hanggi balik bertanya.
Mereka
tertawa bersamaan.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakaatuh,” ucap penyiar radio
bernama Ahsan. Mereka lantas saling merangkul, kemudian duduk berhadapan.
Hanggi
segera menyampaikan tujuannya pada Ahsan. Hanggi mengatakan bahwa dalam waktu
dekat akan melangsungkan pernikahan dan membutuhkan bantuan Ahsan sebagai
pembawa acara pada resepsinya nanti.
Dan
ternyata, Ahsan menyanggupi. Saking girangnya, Hanggi mengatakan nama calonnya
pada Ahsan. Dia bernama Alisa. Mendengar pernyataan Hanggi, Ahsan sontak
terkejut. Dia bahkan hampir memecahkan cangkir kopinya.
“A-lisa?”
“Ya,
kenapa?” tanya Hanggi, heran.
“Tidak,
hanya teringat dengan seseorang. Dulu saya juga sempat akan menikah dengan
seorang perempuan bernama Alisa, kami memutuskan untuk menikah muda pada usia
dua puluhan. Tetapi, tiba-tiba saja Ibunda Alisa dipanggil oleh Allah. Lalu,
pernikahan kami batal dan tidak menjalin komunikasi lagi sampai sekarang,”
jawab Ahsan.
“Pasti
ucapan saya kembali membuka luka lama, ya?”
Ahsan
tertawa ringan. “Tidak. Sama sekali tidak. Menurut saya, Alisa adalah kenangan
yang sangat indah. Jadi, mengingatnya berulang kali pun tidak akan membuat saya
merasa terluka. Lagi pula, dia pasti sudah menikah, memiliki anak, dan sudah
hidup bahagia bersama keluarga kecilnya. Entahlah, saya tidak tahu pasti.
Tetapi, menikah muda adalah impiannya sejak remaja. Jadi, saya pikir dia pasti
sudah bahagia,” katanya.
Hanggi
ikut tertawa, lantas menyeruput kopinya sekali.
“Saya
jadi sangat penasaran dengan Alisa yang Anda maksud. Tidak, maksud saya ini
seperti takdir saja, karena kita sama-sama memiliki calon istri yang bernama
Alisa. Meskipun, mungkin alur cerita asmara saya akan berbeda dengan milik
Anda. Tapi, saya sangat penasaran. Apa mungkin Mas Ahsan masih menyimpan
fotonya?”
Ahsan
menyeruput kopinya pelan-pelan. “Tentu,” jawabnya ringan. Dia lantas
mengulurkan telepon pintarnya, menunjukkan beberapa foto Alisa ketika masih
remaja. Fotonya ketika wisuda, bahkan foto mereka berdua ketika pertama kali
dipertemukan oleh Ustadzah Nurmala.
Dan
entah mengapa, semua foto itu membuat Hanggi terkesiap. Jemarinya bahkan
gemetar hebat hingga membuat cangkir di genggamannya terlepas. Lalu, jatuh ke
lantai. Tumpah, berceceran tanpa di hiraukan. Mendadak air matanya menitik.
Dadanya sesak.
“Dia
benar-benar Alisa yang sama,” gumamnya seraya berlalu pergi.
***
Alisa
mematutkan dirinya pada cermin, sekali lagi. Cantik, gumamnya dalam
hati. Dia akhirnya siap menuju ke singgasana, yakni kursi pengantin. Tetapi,
lagi-lagi dia berlari ke arah Karina, menanyakan hal yang sama apakah dirinya
terlihat cantik. Dan entah, sudah untuk ke berapa kalinya Karina menjawab hal
yang sama dengan raut muka tidak kesal sekali pun.
“Sa,
sebentar,” kata Karina, “Hanggi di bawah. Temui dia dulu, yaa?”
Alisa
mengangguk, paham. Dia bergegas turun. Dicarinya seorang lelaki tinggi dan
putih yang selalu mengenakan setelan jas rapi, dan ternyata lelaki itu sedang
berdiri di antara tamu undangan. Ketika mata mereka beradu, Alisa segera
mengangkat sebelah tangannya. Memberikan intruksi agar Hanggi menghampirinya
barang sebentar.
Hanggi
menurut.
Tidak
lama kemudian, lelaki tampan yang kini menyandang nama muslim Muhammad Hanggi
Anggara ini berdiri di hadapan Alisa seraya mengembang senyum. Mereka tampak
malu-malu untuk mengutarakan ucapannya masing-masing.
“Maaf,
Alisa,” kata Hanggi.
“Tidak,
Hanggi. Saya yang seharusnya meminta maaf dan berterima kasih. Karena, kamu lebih
memprioritaskan hati orang lain ketimbang hatimu sendiri. Kamu benar-benar
orang yang baik dan berhati besar. Semoga Allah segera memberikan pendamping
hidup yang sesuai dengan kamu, Hanggi. Cerminan dirimu. Ahsan di atas, temui
dia, yaa. Tenangkan hatinya, seperti dahulu dia menenangkan hatimu,” kata
Alisa.
Hanggi
tersenyum.
Pada
akhirnya perjalanan Ahsan dalam pencarian Alisa berakhir, meski novel itu belum
dirilis sekali pun. Pada akhirnya, manusia-manusia berjiwa lapang dapat
mengikhlaskan kepergian seseorang yang selama ini dianggap sebagai tulang
rusuknya, meski awal dari perpisahan selalu berat dan tidak pernah mudah. Dan
pada akhirnya Alisa sadar, bahwa yang tertulis di Lauh Mahfuzh tidak pernah
keliru. Takdir selalu tahu ke mana dia harus berlabuh.
Komentar
Posting Komentar