Catatan Pendek: Alisa (3)
( 3 )
Tetangga Asing
Kudus,
2018
Seorang
gadis kecil sedang asyik memainkan bonekanya di balkon. Dia dekat sekali dengan
tepi, berdiri di sana tanpa ada rasa takut sekali pun. Lalu, tidak jauh dari
balkon terdapat seorang lelaki yang sedang menikmati kopi di depan televisi.
Pandangannya sesekali mengarah ke gadis kecil itu, entah apa yang
dipikirkannya.
Praaang!
Tiba-tiba
cangkir berisi kopi itu terjatuh dari genggaman lelaki itu. Cangkir itu pecah,
dan isinya tumpah ke lantai, tidak dihiraukan. Aku yang sedang belajar di kamar
terburu-buru keluar, aku melihat lelaki itu sudah berdiri di sana seorang diri.
Di balkon.
Kakiku
gemetaran. Badanku mendingin. Lantas, lelaki itu menoleh ke belakang, menatap
aku lekat-lekat. Aku ketakutan. Aku mencoba untuk lari, atau setidaknya mundur
beberapa langkah, namun tubuh ini seakan telah membeku bersama lantai. Gadis
kecil itu tidak ada, mungkinkah lelaki itu telah melemparnya dari balkon?
Bulir
keringat memenuhi pelipis. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, mungkin saja
dia tidak membunuhnya. Tetapi, aku tetap tidak bisa berdalih dari prasangka
burukku tentang dia. “Mungkinkah Ayah baru saja membunuh Sofia?”
“Alisa?”
Perempuan
bernama Alisa tampak melemas di atas ranjangnya. Kedua matanya mengerjap
beberapa kali, namun kesadarannya belum pulih juga. Bulir keringat benar-benar
memenuhi kedua pelipisnya, seakan mimpi buruknya kembali dimulai.
“Alisa,
kamu mimpi buruk lagi?” tanya seorang perempuan yang tampak begitu mengkhawatirkannya.
Sesekali dia mengusap pelipis Alisa dengan handuk hangat. Menandakan bahwa
Alisa dalam kondisi yang tidak baik.
Alisa
bangkit, lalu merebahkan punggungnya ke dinding. Ini jauh lebih nyaman,
pikirnya. Dia lantas menoleh ke arah jendela dengan malas, dan berdalih pada
perempuan di hadapannya. Alisa kesal, namun dia berusaha mengendalikan
amarahnya.
“Karina,
sudah berapa kali saya bilang? Jangan tutup jendelanya,” kata Alisa.
Perempuan
bernama Karina mendesah. “Sa, semalaman kamu demam. Bagaimana aku tidak menutup
jendelanya kalau kondisi kamu saja seperti ini? Kamu bisa masuk angin, Alisa,
demammu bisa semakin parah,” kata Karina bersungut-sungut.
Alisa
tidak melawan sedikit pun ucapan Karina, walau sejujurnya dia tidak suka. Dia
paham betul jika sebenarnya Karina sangat mengkhawatirkan dirinya. Tetapi,
mungkin saja jendela yang tertutup itulah yang membuat suasana kamarnya menjadi
sangat panas, hingga pada akhirnya mimpi buruk itu hadir lagi, dan membuatnya
demam lagi.
Karina
meraih handuk hangat itu, lantas segera beranjak dari ranjang Alisa. Dia
terlihat sangat kesal, karena kekhawatirannya terhadap Alisa justru berakhir
mala petaka. Mereka harus ribut hanya perkara jendela. Padahal Karina hanya
bermaksud untuk menghentikan demam Alisa yang semakin menjadi.
“Besok
pagi, kita pergi ke dokter,” lanjutnya sebelum benar-benar menghilang dari
balik pintu kamar Alisa.
***
Alisa
berjingkat-jingkat meraih toples kopi di dalam lemari dapur. Tidak lama,
jemarinya menyentuh sesuatu. Toples. Benda yang sangat diinginkan di masa-masa
seperti ini. Ketakutannya seakan menghilang ketika toples itu benar-benar
berada di genggamannya.
Namun,
dia terkejut. Toples itu kosong. Sepertinya, kopi di dalam toples ini telah
habis. Alisa tidak menyadarinya, dan hal ini kembali membuat perasaan takutnya
hadir. Dia benar-benar tidak suka tidur, semenjak mimpi buruk itu hadir di
setiap tidurnya. Apalagi jika demamnya sedang separah ini, dia tidak mungkin memaksakan
kehendak Karina untuk membuka jendela kamarnya. Meski, mimpi buruk itu hanya
bisa pergi jika Alisa membuka jendela kamar. Dia benar-benar tidak ingin
mempeributkan perkara sepele ini lagi dengan Karina, sungguh.
Alisa
berpikir sejenak. Tidak ada pilihan lain. Malam ini dia benar-benar harus
menyeruput arabica. Dia lantas meraih cadarnya, diikatnya ikatan cadar itu
dengan kencang. Sepertinya, malam ini angin sedang kencang, jadi dia harus
mengikatnya dengan benar agar cadarnya tidak mudah lepas ketika tertiup angin
nanti.
***
“Alisa?”
pekik seorang lelaki, seraya menerka-nerka.
Alisa
menoleh. Dilihatnya seorang lelaki dewasa berdiri di balik punggungnya. Bola
matanya yang biru menatap nanar ke arah Alisa. Alisa segera menunduk. Tetapi,
entah mengapa dia masih mengingat dengan jelas postur tubuh lelaki itu, dia
tinggi dan putih, rambutnya sedikit kecoklatan, dan dia tampan?
“Siapa
kamu?” tanya Alisa baik-baik.
“Hm,
aku ...” dia segera mengulurkan sebelah tangannya. “Hanggi. Aku tinggal di
sebelah rumahmu. Kamu Alisa, ‘kan? Aku memang baru pertama kali melihatmu di
luar rumah, tapi aku sering mendengar Karina memanggil namamu. Seperti itu,”
katanya.
Hanggi
kembali meletakkan sebelah tangannya ke dalam saku celana jeans. Alisa
tampak tidak bersahabat, dia bahkan tidak menjawab uluran tangan Hanggi sekali
pun. Meski seperti itu, tampaknya Hanggi tidak mempermasalahkan. Sebaliknya,
dia justru senang karena bisa menjumpai Alisa secara langsung, di mana
sebelumnya dia hanya bisa mendengar nama Alisa disebut-sebut oleh Karina.
“Hm,
maaf soal Bobby, anjingku. Karena, sepertinya dia suka menyalak ketika
melihatmu. Aku pasti akan mencoba untuk memperingatkan dia agar tidak seperti
itu lagi ke depannya. Maafkan aku, Alisa,” lanjutnya, kaku.
Alisa
mengangguk.
“Tapi,
kamu dari mana?”
Hanggi
tampak memperhatikan kantong plastik yang dibawa Alisa. Dia bahkan memberikan
isyarat dengan jari telunjuknya, berharap Alisa menjelaskan itu. Tetapi,
sepertinya Alisa enggan menjawab pertanyaan Hanggi.
“Oh?
Mini market. Kamu pasti baru saja membeli sesuatu dari sana. Tapi, kenapa
selarut ini?” Hanggi melirik arlojinya, lantas berdalih menatap Alisa. Sekarang
pukul satu malam. Dan ini sudah terlalu larut bagi seorang perempuan pergi
sendiri.
Tetapi,
Alisa lagi-lagi bergeming. Dia tidak bergairah menjawab pertanyaan Hanggi,
orang asing yang baru dikenalnya malam ini. Hanggi begitu cerewet,
mempertanyakan ini-itu sedang dia saja tidak memedulikan dirinya yang baru
pulang ke rumah selarut ini. Sungguh tetangga yang ramah, dia bahkan membiarkan
mesin mobilnya tetap menyala di depan rumah, sedang dirinya asyik menghampiri
perempuan yang bahkan tidak ingin diganggu.
Alisa
mengakhiri percakapan itu dengan anggukan kepala, lalu memutuskan untuk segera
masuk ke dalam rumah. Cuaca di luar begitu dingin, dia kembali merapatkan jaket
dan jilbab panjangnya, sama sekali tidak menghiraukan Hanggi yang tetap berdiri
di luar sana.
***
Komentar
Posting Komentar