Postingan

Catatan Pendek: Alisa (7)

Gambar
( 7 ) Kamu yang Tertulis di Lauh Mahfuz Alisa berdiri di samping ranjang seorang lelaki tua. Tepat di samping ranjang terdapat banyak sekali alat bantu pernapasan, infus, dan alat-alat dokter lainnya yang tidak dia ketahui namanya. Jemarinya gemetar, dia ingin sekali menyentuh sebelah tangan lelaki tua itu, namun raganya tidak mampu. Selalu saja ada batasan yang tidak ingin dia langgar, seperti halnya melepas cadar. Rasanya, ini bukanlah saat yang tepat bagi Ahsan mengetahui identitas Faradiba yang sebenarnya. “Ahsan, saya ingin kopi,” kata Alisa. Ahsan mengangguk, lantas segera keluar ruangan untuk membeli kopi. Alisa tidak banyak berpikir lagi. Dia segera melepaskan penutup wajahnya, meletakkannya di sisi ranjang. Air matanya menitik. Jemarinya yang lentik dan lembut menyentuh sebelah tangan yang telah menua itu. Berharap lelaki di sampingnya terbangun dan menerka siapa perempuan di hadapannya. Namun, tubuh lelaki itu tidak merespon apapun. Alisa menangis lagi. Lan

Catatan Pendek: Alisa (6)

Gambar
( 6 ) Kebenaran yang Terungkap Alisa terbaring lemah. Setelah kepulangannya dari pusara ibu, dia menjadi semakin tidak berdaya. Mimpi-mimpi buruk itu selalu hadir di setiap tidurnya. Hampir dua minggu ini, Alisa bagai orang penyakitan yang hanya menghabiskan sisa-sisa kehidupannya di atas ranjang tanpa bertemankan siapa-siapa. Lagi. Meski tubuhnya sakit berkali-kali hingga harus mengonsumsi obat, Alisa tetap membuka pintu jendelanya lebar-lebar. Membiarkan angin berembus masuk, membuat ruang kamarnya semakin dingan saja. Sengaja, untuk mengusir mimpi-mimpi yang sama, yang tidak pernah mau pergi. “Karina, saya mohon jangan tutup jendelanya. Malam ini saja,” pinta Alisa. Karina melengos. Dia sejujurnya sangat kesal jika di masa-masa kesakitan Alisa seperti ini, dia tidak diizinkan untuk menutup pintu jendelanya. Hal ini yang selalu membuat Karina berpikir hebat, bahwa sakit yang Alisa derita akibat angin malam yang hilir mudik dari ruang kamarnya. *** Alisa terpejam

Catatan Pendek: Alisa (5)

Gambar
( 5 ) Lelaki di Atas Kursi Roda Bel rumah berdentang berulang kali. Tidak ada satu pun yang membukakan pintu. Alisa sedang pergi ke luar kota selama dua hari, dan Karina sedang sibuk menyiapkan bekal untuk dia bawa ke kantor. Merepotkan. Mengapa jika Alisa tidak ada, rumah seakan kehilangan energi, entahlah. Dia malas berpikir panjang, lantas meninggalkan kotak bekalnya di atas meja makan. Dan bergegas ke pintu utama. “Pagi?” pekik seorang lelaki tinggi di depan pintu. Karina terkejut, sungguh. Dia mendapati lelaki itu telah berdiri di sana, setelah dia membuka pintu. Ternyata seorang tetangga, Hanggi namanya. Hanggi tampak riang seperti biasanya, dia menenteng satu kantong yang entah berisi apa pada tangan kanannya dan sebuah kotak berisi kucing anggora pada tangan kirinya. Karina mengernyit heran. Namun, Hanggi tampak tidak menghiraukan. Dia justru asyik mengedarkan pandangannya pada area ruang tamu Karina, seperti mencari-cari sesuatu, entah itu apa. “A-lisa?

Catatan Pendek: Alisa (4)

Gambar
( 4 ) Pertemuan Baru Pukul sembilan pagi. Usai sarapan, Karina bergegas menyiapkan air putih beserta obat untuk Alisa yang terkena demam semalaman. Karina bahkan merasa khawatir untuk beberapa saat, sehingga semalam dia mengecek ke kamar Alisa untuk sekadar memastikan apakah jendela itu tetap tertutup atau kembali dibuka. “Sa, kata dokter kamu harus banyak istirahat. Jadi, pagi ini jangan pergi ke perpustakaan dulu, ya?” Karina tampak melirik ke arah Alisa, lantas melanjutkan, “Hm, bagaimana kalau sebagai gantinya, aku yang cari referensi untuk tulisan kamu? Tapi, aku nggak janji sekarang, mungkin nanti sepulang kerja.” Alisa mengangguk. Lantas segera meminum butir-butir obatnya. Karina sendiri asyik mengemasi barang-barang yang akan dia bawa ke tempat kerja. Sembari merapikan jilbabnya, dia beberapa kali melihat ke arah telepon pintarnya, seperti memastikan sesuatu. Entah, apa itu. “Oh, ya, Sa. Aku kebetulan punya kenalan yang bisa bantu mempromosikan novel kamu.

Catatan Pendek: Alisa (3)

Gambar
( 3 ) Tetangga Asing Kudus, 2018 Seorang gadis kecil sedang asyik memainkan bonekanya di balkon. Dia dekat sekali dengan tepi, berdiri di sana tanpa ada rasa takut sekali pun. Lalu, tidak jauh dari balkon terdapat seorang lelaki yang sedang menikmati kopi di depan televisi. Pandangannya sesekali mengarah ke gadis kecil itu, entah apa yang dipikirkannya. Praaang! Tiba-tiba cangkir berisi kopi itu terjatuh dari genggaman lelaki itu. Cangkir itu pecah, dan isinya tumpah ke lantai, tidak dihiraukan. Aku yang sedang belajar di kamar terburu-buru keluar, aku melihat lelaki itu sudah berdiri di sana seorang diri. Di balkon. Kakiku gemetaran. Badanku mendingin. Lantas, lelaki itu menoleh ke belakang, menatap aku lekat-lekat. Aku ketakutan. Aku mencoba untuk lari, atau setidaknya mundur beberapa langkah, namun tubuh ini seakan telah membeku bersama lantai. Gadis kecil itu tidak ada, mungkinkah lelaki itu telah melemparnya dari balkon? Bulir keringat memenuhi pelipis. Aku m

Catatan Pendek: Alisa (2)

Gambar
( 2 ) Perjuangan yang Telah Usai Langit masih belum menggelap. Tetapi, lampu-lampu di pelataran cafe sudah berpijar sejak lima menit yang lalu. Di sudut pelataran terdapat sebuah pohon pucuk merah yang tingginya berkisar anak kelas enam SD, serta sebuah meja kecil dengan dua kursi yang saling berhadapan. Dua orang sedang duduk di sana dengan air muka serius. “Sudah satu bulan,” ucap seorang lelaki. Gadis di hadapannya bergumam, dia tampak mengerti jika satu bulan belakangan ini situasinya menjadi semakin rumit. Semenjak kepergian bunda, mereka kehilangan kabar dari Alisa. Dia bahkan sulit ditemukan di rumahnya sendiri. Entah, Alisa ada di mana. Tidak pernah ada yang tahu mengenai nasib gadis itu. “Pasti sangat berat kehilangan seorang Bunda di usia remaja seperti Alisa. Apalagi, Bunda adalah teman sekaligus orang tua yang baik bagi Alisa semasa hidup. Dia pasti sangat terpukul. Jujur, aku ingin menghiburnya. Tapi, entah dia ada di mana,” jelas gadis itu, sendu. Lelaki

Catatan Pendek: Alisa (1)

Gambar
( 1 ) Telepon dari Ayah Jakarta, 2010 Di sebuah gedung sekolah tampak sebagian siswa-siswi mengenakan seragam toga, lengkap dengan topinya. Beberapa sibuk mengambil gambar dengan telepon pintar, dan sebagian yang lain tampak menunggu pergelaran acara dengan gugup. Di belakang gedung sekolah, tempat yang hampir tidak pernah terjamah oleh siswa-siswi elit, terdapat sebuah pohon akasia yang tumbuh rindang. Anak angin betah bercanda gurau di antara ilalang yang semakin meninggi. Tepat di bawah pohon, seorang gadis duduk di sana, dia tidak peduli walau seragam toganya kotor. Dia hanya ingin sendiri, barang lima menit saja. Benar-benar sendiri. “Alisa?” seseorang memekik seraya melambaikan sebelah tangan. Gadis itu menaikkan wajah, dia paham betul jika seseorang di seberang sana sedang memekikkan namanya hampir berulang-ulang. Namun, dia malas beranjak. Malas sekali, walau acara sebentar lagi akan dimulai. “Alisa,” seseorang di seberang sana kembali berteriak, lemah. Dia l